Drama Baru! Tahta Itu Berdarah, Tapi Semua Orang Berpura-pura Buta.
Angin berdesir di antara pepohonan bambu, membawa harum lotus yang memabukkan—seperti aroma kenangan yang kini terasa pahit di lidah Xiulan. Dulu, di taman inilah, dengan hamparan bunga lotus yang sama, ia berjanji setia pada Pangeran Mahkota, putra mahkota yang tampan dan menjanjikan. Dulu, di taman inilah, cintanya mekar seindah kelopak lotus yang merekah di bawah mentari pagi.
Xiulan, seorang putri dari kerajaan kecil yang dipersembahkan sebagai upeti, awalnya hanya dipandang sebelah mata. Namun, kecantikannya yang lembut, kebijaksanaannya yang luar biasa, dan keahliannya memainkan guzheng, berhasil menaklukkan hati Pangeran Mahkota. Ia jatuh cinta, dengan polosnya, tanpa menyadari bahwa cinta di istana ini adalah permainan pedang, bukan melodi indah.
Lalu, badai itu datang.
Pengkhianatan. Perebutan tahta. Fitnah.
Semuanya menghantam Xiulan sekaligus. Pangeran Mahkota, pria yang dicintainya sepenuh hati, menikahi putri dari Jenderal Besar yang berkuasa demi mengamankan posisinya. Xiulan dituduh berkhianat, bersekongkol dengan musuh, dan dijebloskan ke penjara bawah tanah yang dingin dan lembab. Di sanalah, di tengah kegelapan dan keputusasaan, benih kebencian mulai tumbuh.
Lima tahun. Lima tahun dalam kegelapan. Lima tahun merajut rencana. Lima tahun menajamkan pedang yang tersembunyi di balik senyumnya yang kembali manis. Ia keluar dari penjara, bukan sebagai Xiulan yang dulu polos dan mencintai, melainkan sebagai wanita yang penuh perhitungan, matanya setajam belati.
Ia kembali ke istana, bukan dengan teriakan dendam, melainkan dengan ketenangan yang membuat bulu kuduk merinding. Ia membaur, bagai air yang menyesuaikan diri dengan wadahnya. Ia belajar, mengamati, dan merencanakan. Ia menjadi penasihat kepercayaan Permaisuri, meraih simpati para selir, dan mengendalikan aliran informasi di istana.
Setiap malam, di balik tirai sutra kamarnya, Xiulan berlatih kaligrafi. Dengan tinta hitam pekat, ia menuliskan nama-nama mereka yang telah menghancurkannya. Bukan untuk membenci, melainkan untuk mengingat. Mengingat setiap detail pengkhianatan, setiap tatapan sinis, setiap bisikan kejam.
Dan balas dendamnya pun dimulai. Bukan dengan darah dan kekerasan, melainkan dengan intrik dan manipulasi. Ia menanamkan benih keraguan di hati Raja, membuat Pangeran Mahkota dan Jenderal Besar saling mencurigai, dan memicu perang dingin di antara mereka. Ia tidak menggunakan amarah, melainkan akal. Ia tidak berteriak, melainkan berbisik—bisikan yang lebih mematikan daripada pedang.
Xiulan menyaksikan, dari kejauhan, istana itu runtuh dari dalam. Tahta yang berdarah itu kini menjadi medan perang, dan semua orang terlalu sibuk mempertahankan kekuasaan hingga tak menyadari bahwa dialah yang menarik semua benang. Senyum tipis tersungging di bibirnya.
Darah mengalir, tahta berguncang, dan Xiulan berdiri di tengah badai itu, tenang. Bunga lotus di rambutnya bergoyang lembut, seolah menertawakan kekacauan yang terjadi. Semua mata tertuju padanya, bertanya-tanya tentang perannya dalam drama tragis ini.
Kaisar baru telah naik tahta, tapi semua orang lupa bahwa di balik senyum lembutnya, wanita itu menyimpan kekuatan yang lebih besar dari seluruh kerajaan — kekuatan untuk menghancurkan dan membangun kembali, sesuai dengan kehendaknya sendiri.
"Kini, akulah pemilik takdirku sendiri, dan mahkota ini, adalah mahkota yang kupahat dari abu."
You Might Also Like: 151 Understanding Compassion Fatigue