Endingnya Gini! Kau Mengingat Setiap Pelajaran, Tapi Melupakan Yang Paling Penting — Aku
Kau Mengingat Setiap Pelajaran, Tapi Melupakan yang Paling Penting — Aku
Malam di puncak Gunung Tai terasa seperti malam-malam sebelumnya: abadi. Salju turun dengan kejam, menutupi segalanya dengan lapisan putih yang menyilaukan. Tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Aroma dupa cendana bercampur dengan bau besi dan... darah.
Di tengah kuil yang remang-remang, Li Wei, sang jenderal termuda dan paling ditakuti di Kekaisaran Yan, berdiri tegak. Jubah peraknya ternoda merah di beberapa tempat. Di hadapannya, berlutut seorang wanita, Bai Lian. Mata rubinya yang biasanya berbinar, kini redup dan penuh air mata.
"Kau... menghancurkan segalanya," bisik Bai Lian, suaranya bergetar.
Li Wei tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan tatapan sedingin es. Dulu, tatapan itu akan membuat Bai Lian meleleh. Dulu, tatapan itu hanya untuknya. Dulu, mereka berdua saling mencintai dalam diam, di antara tumpukan buku-buku kuno dan latihan pedang yang tak berujung.
"Kau ingat setiap mantra, setiap strategi, setiap pelajaran yang aku ajarkan padamu. Kau menjadi yang terbaik, Li Wei. Tapi kau... kau lupa yang paling penting. Kau lupa aku."
Lima belas tahun lalu, mereka berdua adalah anak-anak yatim piatu yang diadopsi oleh Guru Agung Kuil Tai. Bai Lian, yang lebih tua setahun, selalu melindungi Li Wei. Dia mengajarinya membaca, menulis, dan menggunakan pedang. Mereka terikat oleh janji di bawah pohon sakura yang mekar—janji untuk saling melindungi, selamanya.
Namun, janji itu hancur berkeping-keping ketika rahasia keluarga Bai Lian terungkap. Ayahnya, yang dulunya seorang jenderal yang dihormati, ternyata berkhianat pada Kekaisaran. Li Wei, yang baru saja naik pangkat menjadi jenderal, diperintahkan untuk menangkap dan menghukum Bai Lian.
"Aku tidak punya pilihan," ujar Li Wei, akhirnya berbicara. Suaranya berat, tanpa emosi. "Aku terikat oleh sumpah pada Kaisar."
"Pilihan selalu ada, Li Wei! Selalu!" Bai Lian berteriak, air mata mengalir deras di pipinya. "Kau bisa lari bersamaku. Kita bisa menghilang!"
Li Wei menggelengkan kepalanya. "Aku tidak bisa meninggalkan negaraku."
Bai Lian tertawa sinis. "Negaramu? Atau kekuasaanmu?"
Malam itu, Li Wei memang menangkap Bai Lian. Tapi dia tidak menyerahkannya kepada Kaisar. Dia menyembunyikannya di Kuil Tai, di bawah pengawasannya sendiri. Setiap malam, dia akan datang menemuinya, membawakan makanan dan buku, mencoba memperbaiki apa yang telah rusak. Tapi luka itu terlalu dalam.
Lima belas tahun berlalu. Bai Lian menggunakan waktu itu untuk merencanakan balas dendam. Dia mempelajari setiap kelemahan Li Wei, setiap rahasia kecil yang pernah mereka bagi. Dia mempelajari racun yang paling mematikan, ramuan yang paling kuat. Dia tahu, cepat atau lambat, saatnya akan tiba.
Malam ini, saat itu tiba.
Bai Lian mengeluarkan sebotol kecil dari balik jubahnya. Cairan di dalamnya berwarna hitam pekat, menguarkan aroma pahit yang menusuk. "Racun ini... dibuat khusus untukmu, Li Wei. Ini akan menghancurkan organ-organmu secara perlahan, tetapi kau akan tetap sadar. Kau akan merasakan setiap detik penderitaanmu."
Li Wei tidak bergerak. Dia hanya menatap Bai Lian dengan tatapan yang... anehnya, dipenuhi cinta. "Aku tahu," bisiknya. "Aku tahu kau akan melakukan ini."
Bai Lian tersenyum dingin. "Kau terlalu pintar, Li Wei. Sayang sekali... kau tidak cukup pintar untuk mencintaiku." Dia menuangkan racun itu ke dalam cangkir teh, dan menyerahkannya pada Li Wei.
Li Wei menerimanya tanpa ragu. Dia meneguknya sampai habis, menatap Bai Lian dalam-dalam. "Kau salah," bisiknya, suaranya mulai melemah. "Aku... selalu mencintaimu."
Bai Lian tidak menjawab. Dia hanya berbalik, meninggalkan Li Wei sendirian di kuil yang remang-remang. Di belakangnya, Li Wei jatuh berlutut, darah memuntah dari mulutnya. Salju terus turun, menutupi segalanya dengan lapisan putih. Janji di atas abu, cinta di atas kebencian... semuanya berakhir di sini.
Balas dendam yang tenang namun mematikan — balasan dari hati yang terlalu lama menunggu. Bai Lian berjalan keluar dari kuil, meninggalkan aroma dupa, darah, dan kenangan pahit di belakangnya. Dia tidak menoleh ke belakang. Dia tidak menyesal.
Udara dingin menusuk tulang-tulangnya, tapi hatinya terasa lebih dingin.
Di kejauhan, dia mendengar lolongan serigala.
Dia berhenti sejenak, merasakan hembusan angin di wajahnya.
"Dia akhirnya tahu bahwa aku sudah pergi untuk selamanya…"
Dan malam itu, salju terus turun, menutupi segalanya, menyembunyikan segalanya, hingga tak ada yang tersisa kecuali... keheningan yang mencekam.
You Might Also Like: Kelebihan Sunscreen Mineral Dengan Aloe