Kisah Populer: Cinta Yang Terkunci Dalam Cermin
Lantai marmer Paviliun Anggrek memantulkan rembulan yang pucat. Di tengahnya, berdiri Jing Hua, gaun sutra putihnya berayun mengikuti angin malam. Matanya, danau gelap yang menyimpan badai, tertuju pada cermin perunggu di depannya. Cermin itu, bukan sekadar refleksi dirinya, tapi portal ke masa lalu, ke Janji yang ia pegang erat-erat.
Dulu, di paviliun yang sama, di bawah rembulan yang sama, Pangeran Rui, dengan senyum sehangat mentari pagi, berlutut di hadapannya. "Jing Hua, aku bersumpah, tahta bukan segalanya. Cintamu… kaulah segalanya bagiku. Aku akan memohon pada Kaisar, menolak perjodohan ini. Kita akan menikah dan hidup bahagia selamanya."
Kata-kata itu bagai jimat, ia simpan dalam hatinya. Hingga malam pernikahan Pangeran Rui dan Putri Lian, malam di mana cermin itu, dengan kejamnya, memantulkan wajahnya yang hancur.
LIMA BELAS TAHUN! Lima belas tahun ia mengabdikan diri sebagai dayang di istana ini, menyaksikan Pangeran Rui—kini Kaisar Rui—berjaya, memerintah, dan melupakannya. Setiap senyum yang Kaisar berikan pada Putri Lian, setiap kata mesra yang ia ucapkan, adalah belati yang menusuk jantungnya.
Ia sering berdiri di depan cermin ini, menatap pantulan dirinya yang semakin menua, sementara janji itu tetap segar dalam ingatannya. Malam ini, rembulan seolah mengejek.
Tiba-tiba, suara serak memecah kesunyian. "Jing Hua… mengapa kau di sini?"
Kaisar Rui, berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat, tubuhnya ringkih. Penyakit telah menggerogotinya. Ia menatap Jing Hua dengan tatapan penuh penyesalan.
Jing Hua berbalik perlahan. "Hanya mengenang masa lalu, Kaisar." Suaranya dingin, setajam es.
"Aku… aku tahu aku mengecewakanmu. Aku tidak punya pilihan. Negara…" Kaisar terbatuk, darah menodai bibirnya.
Jing Hua mendekat. "Negara? Atau ambisi Anda sendiri, Kaisar?" Ia mengambil cangkir teh dari meja, menuangkannya, dan menyodorkannya pada Kaisar. "Minumlah, Kaisar. Ini teh kesukaan Anda."
Kaisar menerima cangkir itu dengan tangan gemetar. Ia meminumnya tanpa curiga.
Jing Hua menatap Kaisar yang memejamkan mata, menikmati teh yang sebentar lagi akan mengakhiri hidupnya. Teh itu, yang ia racik sendiri dengan tetesan racun termahal di istana. Racun yang tidak meninggalkan jejak, seolah Kaisar meninggal karena penyakitnya.
Perlahan, Kaisar membuka matanya, menatap Jing Hua dengan tatapan bingung. "Jing...Hua...? Kenapa...?"
Jing Hua tersenyum tipis. "Dulu, kau memilih tahta. Sekarang… takdir memilih untukku."
Kaisar ambruk ke lantai. Jing Hua menatapnya, tanpa sedikit pun penyesalan. Ia menatap cermin di depannya, pantulan dirinya, dan pantulan Janji yang kini telah lunas.
Cinta yang abadi, atau dendam yang terbalaskan?
Takdir hanya menyatukan kembali jiwa yang terpisah, entah dalam pelukan, atau dalam kebinasaan.
You Might Also Like: Jualan Skincare Fleksibel Kerja Dari